Oleh : M. Shiddiq al-Jawi
1. Pengertian Sekularisme
Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age). Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh setan.
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”
(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan)
Atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).
Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din ‘an al hayah), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.
Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:
Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti kekuatan para gerejawan Katolik.
Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.
Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
2. Sekularisme: Asas Ideologi Kapitalisme
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanschauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah, yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.
Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan sebagainya.
Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power (sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir sistem ekonomi kapitalisme.
3. Kritik Atas Sekularisme
Umat Islam wajib menolak sekularisme, paling tidak karena 4 (empat) alasan berikut, yaitu:
Pertama, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal. Dengan kata lain, sekularisme tidak sejalan dengan akal (nalar) sehat manusia. tapi lebih didasarkan pada sikap jalan tengah.
Kedua, sekularisme tidak sesuai dengan fitrah manusia, karena sekulerisme menempatkan manusia pada posisi Tuhan yang Maha berkuasa untuk mengatur kehidupan manusia yang sedemikian kompleks. Padahal manusia adalah makhluk yang lemah untuk bisa mengatur kehidupan manusia.
Ketiga, sekularisme telah melahirkan berbagai ide yang gagal dalam praktik yang malah menimbulkan penderitaan pedih pada manusia, misalkan ide demokrasi dan ekonomi kapitalisme.
Keempat, sekularisme bertentangan dengan Islam.
Argumen pertama hingga ketiga, adalah berupa dalil-dalil yang rasional (dalil aqli). Sedang argumen keempat, adalah berupa dalil-dalil naqli (dalil syar’i).
3.1. Sekularisme Tidak Memuaskan Akal
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Al Hamlah al Amirikiyah li Al Qadha` ‘ala Al Islam (1996) sekularisme sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang dihasilkan oleh logika sehat.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian jalan tengah atau kompromistik, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s/d ke-15 M), misalnya Thomas Aquinas, St. Agustine, Tertullian, dan St. Jerome, untuk menundukkan segala urusan kehidupan menurut ketentuan agama Katolik. Sedangkan yang kedua, adalah ide sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Mereka itu misalnya Machiavelli (w. 1527 ) dan Michael Mountaigne (w. 1592). Contoh lainnya adalah ide Voltaire (w. 1778) yang menyatakan, “Orang liberal harus mengakui, bahwa tuhan telah mati (God is dead)”. Ludwig Feurbach (w. 1872) misalnya, menyatakan bahwa, “God is man, and man is God.” (Tuhan itu sebenarnya adalah manusia, dan manusia itu adalah Tuhan). Feurbach juga menyatakan, “Religion is the dream of human mind.” (Agama adalah impian dari pikiran manusia).
Walhasil, ide sekularisme merupakan jalan tengah di antara dua sisi ide ekstrem tadi, yakni ide yang mengharuskan ketundukan pada agama secara mutlak, dan ide yang menolak eksistensi agama juga secara mutlak. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Jadi, sekularisme, bisa diumpamakan jalan tengah dari dua ide yang tidak mungkin dicari titik tengahnya. Misalkan, di satu sisi kita katakan, “Saat ini saya ada di ruang ini.” Sedang di sisi lain, “Saat ini saya tidak ada di ruang ini.” Mungkinkah ada jalan tengah di antara dua ide yang sangat bertolak belakang ini? Jika ada jalan tengahnya, jelas ide itu tidak masuk akal.
Jadi, jelaslah bahwa sekularisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Maka dari itu, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal.
3.2. Sekularisme Tidak Sesuai Fitrah Manusia
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam (2001) mengatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya.
Sebagai contoh ketidakmampuan manusia ini, bisa kita saksikan sistem hukum di Indonesia yang melahirkan banyak pertentangan dan kontradiksi. Di Indonesia diterapkan 3 sistem hukum,yaitu hukum adat, hukum sipil (warisan Belanda), dan hukum Islam. Akibat beragamnya sistem hukum ini, timbul banyak problem, antara lain adanya kontradiksi hukum positif dengan Syariah Islam. Hukum pidana (KUHP) peninggalan penjajah, falsafah yang mendasarinya sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi: “Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana.” Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah (berstatus suami atau isteri). Maka, pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication), tidak melarang hojoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan binatang (bestiality).
Kontradiksi ini lahir karena akal manusia dianggap hebat dan super sehingga berani menerapkan berbagai sistem hukum secara campur aduk, berasaskan sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang seharusnya mengakui kelemahannya, sehingga akhirnya mau berhukum kepada aturan dari Allah semata. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan dari manusia adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, sekularisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia.
3.3. Sekularisme Melahirkan Ide Gagal Dan Membahayakan Manusia
Sekularisme antara lain melahirkan ide demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam praktiknya secara empiris, kedua ide ini telah gagal. Tidak membawa kepada kebahagiaan dan kebaikan untuk manusia, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Mari kita lihat data-datanya.
A. Kegagalan Demokrasi
Demokrasi yang merupakan anak kandung sekularisme, sebenarnya lebih banyak menyajikan ilusi dan tragedi yang mengerikan daripada kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Di AS sendiri, demokrasi telah menemui kegagalannya yang tragis.
AS yang oleh Alexis de Tocqueiville sebagai “guru” demokrasi kini sangat jauh dari demokrasi. Harian AS USA Today (25/4/2003) lalu melaporkan, AS kini tak sepatutnya lagi mengklaim diri sebagai negara paling demokrastis. Mengapa? Karena berkaitan dengan invasi AS ke Irak, sejumlah kasus menunjukkan AS tidak demokratis justru di negaranya sendiri. Sebagai catatan, demo yang menentang invasi AS itu hingga 15 Pebruari 2003 setidaknya mencapai 15 juta orang di 600 kota di seluruh dunia. Tapi semua upaya yang konon demokratis itu menemui kegagalan justru karena sikap AS yang mengabaikan aspirasi dunia seraya tetap ngotot untuk menghancurkan Irak.
Yang lebih gila lagi, seperti dicatat Johan Galtung, intervensi AS ke Irak itu adalah yang ke-69 sejak 1945, dan yang ke-238 sejak Thomas Jefferson pada tahun 1804 mengawali perangnya terhadap kaum muslimin yang dulu disebut sebagai “perompak” dan kini disebut Libya. Sejak tahun 1945 itu tercatat 12 hingga 16 juta manusia terbunuh. Dan sejak tahun 1947, telah tewas sebanyak 6 juta jiwa karena ulah CIA.
Dan itu belum berakhir, sebab Wakil Presiden Dick Cheney mengumumkan, masih akan ada perang-perang lain yang menurut data BBC akan mencapai 60 negara. JINSA (Institut Yahudi untuk Urusan Keamanan Nasional) di Washington memiliki rencana perubahan rezim pemerintahan di 22 negara Arab.
Itulah wajah nyata dari demokrasi. Ide demokrasi yang muluk-muluk seperti egalitarian (kesetaraaan), keadilan, toleransi, dan sebagainya hanyalah utopia. Demokrasi telah gagal. Gagal.
B. Kegagalan Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi juga merupakan anak kandung sekularisme. Prinsip-prinsip yang diajarkannya seperti kebebasan individu, persaingan bebas, mekanisme pasar, dan sebagainya ternyata telah menghancurkan dunia. Kalaupun ada yang untung, itu hanya dinikmati oleh mereka yang kuat. Sedangkan mayoritas manusia yang lemah, harus rela menderita dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan akibat kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan, baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Berikut sekilas data-datanya :
-Kemiskinan dan Kesenjangan
Tren kemiskinan semakin memburuk akibat kapitalisme. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari penduduk dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia lainnya hidup antara 1-2 dolar perhari. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya dengan 1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat pada tahun 1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat menjadi 78:1. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan peningkatan jumlah rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya, tanpa distribusi bagi yang miskin… Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin di dunia merosot lebih dari 1/4nya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya di dunia meningkat 8%. (Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001).
Dua puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1:87. Saat ini menjadi 1:98. (Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001).
Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal 1 juta dolar meningkat hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari 7,2 trilyun dolar menjadi 27 trilyun dolar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dotcom saat ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekayaan mereka meningkat 8% setiap tahunnya dan diperkirakan tahun 2005 mencapai 40 trilyun dolar. (Merril Lynch-Cap Gemini, 2001).
Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset 3 orang terkaya lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terkebelakang. Jumlah milyuder meningkat 25% dua tahun terakhir menjadio 475 orang dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa, sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja. (The United Nations Human Development Report, 1999).
-Kelaparan & Kekurangan Gizi
Di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurngnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai. (Shukor Rahman, Straits of Malaysia Times, 2001).
Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih dititikberatkan pada negara-negara Utara (negara-negara maju), sementara perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negara-negara berkembang). (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi. (United Nations Food and Agriculture Organization, 1994).
Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang mengalami surplus pangan. (United Nations Food and agriculture Organization, 1998).
Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai $ 625 juta, beras 5 juta ton dengan nilai $ 1,3 milyar. (Institute for Food and Development Policy, Backgrounder, Spring 1998).
Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 milyar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun. (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu, pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. (US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999).
Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998 menjadi 1,3 milyar orang pada tahun 2008. 2/3 penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008. (US Departemen of Agriculture, Food Security Asessment, 1999).
Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita dan anak-anak. (Shukor Rahman, World Food Program, New Staits of Malaysia Times, 2001).
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru ataupun rudal tetapi dengan wabah kelaparan. (Carlos Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).
Itulah sekilas daya-data empiris tentang penderitaan umat manusia akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme. Masihkah kita percaya pada kapitalisme? Pada sekularisme?
3.4.Sekularisme Bertentangan Dengan Islam
Kebatilan sekularisme di samping dapat dibuktikan secara dalil aqli, seperti diuraikan sebelumnya, juga dapat didasarkan pada dalil naqli, yaitu ditinjau dari segi-segi berikut:
A. Sekularisme Adalah Ide Kufur
Sekularisme adalah ide kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah. Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 44).
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 60).
B.Sekularisme Bertentangan Dengan Khilafah
Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW:
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah.
Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”
Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang.
Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :
[alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba]
“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR. Ath Thabrani].
Sabda Rasulullah SAW:
[latanqudhonna ‘urol islami ‘urwatan ‘urwatan fakullamaa intaqadhat ‘urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa fa-awwaluhunna naqdhon al hukmu wa aakhiruhunna ash sholaatu]
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].
C. Umat Islam Menyerupai Kaum Kafir (tasyabbuh bi al kuffar)
Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara).
Disebutkan dalam Injil:
“"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Matius 22 : 21).
Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.
Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi al kuffar).
Sabda Rasulullah SAW:
[man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum]
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” [HR. Abu Dawud].
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini:
“Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...”
Dengan demikian, pada umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara. (Nauzhu billah min dzalik!)
4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa sekularime wajib ditolak oleh kaum muslimin, karena sekularisme tidak masuk akal, tidak sesuai fitrah manusia, melahirkan kemudharatan dalam praktiknya, serta bertentangan dengan Islam.
Sekularisme adalah ide kufur yang wajib dihancurkan oleh kaum muslimin. Sekulerisme adalah thaghut yang kita telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Sekulerisme wajib dihapuskan dari muka bumi, dalam segala bentuk dan manifestasinya. [ ]
Jumat, 02 Juli 2010
KENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME
Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003:43).
Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. "Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme," kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,"Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan." Nixon pun berkomentar,"Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri." (Usman, 2003:46).
Walhasil, keruntuhan komunisme tidaklah otomatis berarti kapitalisme itu hebat. Karena sebenarnya kapitalisme tak kalah rusaknya dengan komunisme. Kerusakan kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu'tashim) dalam kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). "Kerusakan adalah tanda awal kehancuran," tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.
Hamad Fahmi Thabib sendiri, adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh barakah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Mu’ahadat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilafah Ar-Rasyidah Al-Mau'udah wa At-Tahaddiyat (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta : HTI Press), 2008.
Gambaran Isi Kitab
Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia terutama di Barat kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (thariqu an-najah) namun tak tahu harus melangkah ke mana.
Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah. Dengan kitabnya itu Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali kepada ideologi Islam. (h. 9).
Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.
Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan kapitalisme, yaitu : Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.
Sekularisme Sumber Kerusakan
Sebelum menerangkan kerusakan kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengahnya sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tapi hanya berfungsi di gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486 – 1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang di abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h.24).
Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharizah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan,"Kerusakan pada asas yang mendasari kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia." (h. 50).
Kerusakan Sistem Politik
Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).
Politik dalam negeri Barat, nampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering kali dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Perancis muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).
Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).
Politik luar negeri ala kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme --dalam segala bentuknya-- yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afghanistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).
Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar Aqidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiyah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah mentaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).
Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia tidaknya seseorang. Faktanya, dengan materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putera direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putera mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat,"Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain..." (h. 173).
Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma`ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).
Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Maka penduduknya yang non muslim memprotes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam. (h. 226)
Kerusakan Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. (h. 271).
Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut. (h. 277).
Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam. (h. 300).
Islam juga menolak institusi utama kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak. (h. 333).
Kerusakan Sistem Sosial
Sistem sosial (nizham ijtima'i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata. (h. 375).
Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap "pertemanan", cerai dilarang, tapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal. (h. 379-388).
Sistem sosial yang bobrok seperti ini, telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral, dan melahirkan anak-anak zina (h. 398).
Sistem sosial Islam, asasnya adalah Aqidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Maka wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.
Thabib berulang kali menegaskan, keruntuhan kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana sosialisme. Karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (thariq an-najah) umat manusia, bukan yang lain. [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquuth min Ad-Daakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta : Pustaka Al Kautsar). 1995.
Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung : Zenit). 2007
Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta : Grafindo Khazanah Islam). 2007
Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta : Teraju : 2005).
Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo : Era Intermedia). 2003.
Pengantar
Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003:43).
Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. "Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme," kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,"Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan." Nixon pun berkomentar,"Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri." (Usman, 2003:46).
Walhasil, keruntuhan komunisme tidaklah otomatis berarti kapitalisme itu hebat. Karena sebenarnya kapitalisme tak kalah rusaknya dengan komunisme. Kerusakan kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu'tashim) dalam kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). "Kerusakan adalah tanda awal kehancuran," tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.
Hamad Fahmi Thabib sendiri, adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh barakah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Mu’ahadat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilafah Ar-Rasyidah Al-Mau'udah wa At-Tahaddiyat (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta : HTI Press), 2008.
Gambaran Isi Kitab
Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia terutama di Barat kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (thariqu an-najah) namun tak tahu harus melangkah ke mana.
Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah. Dengan kitabnya itu Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali kepada ideologi Islam. (h. 9).
Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.
Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan kapitalisme, yaitu : Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.
Sekularisme Sumber Kerusakan
Sebelum menerangkan kerusakan kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengahnya sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tapi hanya berfungsi di gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486 – 1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang di abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h.24).
Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharizah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan,"Kerusakan pada asas yang mendasari kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia." (h. 50).
Kerusakan Sistem Politik
Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).
Politik dalam negeri Barat, nampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering kali dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Perancis muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).
Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).
Politik luar negeri ala kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme --dalam segala bentuknya-- yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afghanistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).
Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar Aqidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiyah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah mentaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).
Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia tidaknya seseorang. Faktanya, dengan materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putera direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putera mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat,"Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain..." (h. 173).
Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma`ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).
Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Maka penduduknya yang non muslim memprotes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam. (h. 226)
Kerusakan Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. (h. 271).
Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut. (h. 277).
Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam. (h. 300).
Islam juga menolak institusi utama kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak. (h. 333).
Kerusakan Sistem Sosial
Sistem sosial (nizham ijtima'i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata. (h. 375).
Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap "pertemanan", cerai dilarang, tapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal. (h. 379-388).
Sistem sosial yang bobrok seperti ini, telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral, dan melahirkan anak-anak zina (h. 398).
Sistem sosial Islam, asasnya adalah Aqidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Maka wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.
Thabib berulang kali menegaskan, keruntuhan kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana sosialisme. Karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (thariq an-najah) umat manusia, bukan yang lain. [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquuth min Ad-Daakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta : Pustaka Al Kautsar). 1995.
Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung : Zenit). 2007
Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta : Grafindo Khazanah Islam). 2007
Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta : Teraju : 2005).
Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo : Era Intermedia). 2003.
Langganan:
Postingan (Atom)