Sabtu, 02 April 2011

Asma binti Abu Bakar ash Shiddiq

Do’a Asma kepada anaknya Abdullah bin Zubair
Tatkala Abdullah bin Zubair diangkat menjadi khalifah setelah khalifah Yazid bin Muawiyah meninggal, negeri-negeri Hijaz, Mesir, Iraq, Khurasan dan sebagian besar negeri Syam tunduk ke bawah pemerintahannya. Tapi Bani Umayyah tidak tinggal diam menyiapkan tentara yang besar dibawah pimpinan panglima Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqofi untuk menggulingkan khalifah. Abdullah bin Zubair turun ke medan tempur memimpin sendiri tentara yang setia kepadanya. Dia memperlihatkan kebolehannya sebagai panglima perang yang gagah berani dengan taktik dan strategi perang yang brillian.
Tetapi para perwira bawahan dan prajuritnya banyak yang meninggalkannya satu demi satu, membelot ke pihak musuh. Akhirnya dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit dia mundur dibawah naungan Ka’bah yang suci dan agung. Beberapa saat sebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubair pergi menemui ibundanya yang sudah lanjut usia dan mengundurkan diri dari kegiatan masyarakat umum dan matanya sudah buta.
“Assalamu’alaiki wa rahmatullahi wabarakatuhu, ya ummah !” kata Abdullah memberi salam kepada ibunya.
“Wa’alaikassalam wa rahmatullahi wabarakatuhu.. ya Abdullah..!
“Mengapa engkau datang kesini pada waktu begini.. ? Padahal batu-batu besar yang dilontarkan Hajjaj kepada tentara mu menggetarkan seluruh kota Makkah.” Kata ibunya..
“Aku datang hendak bermusyawarah dengan ibu,” jawab Abdullah dengan hormat.
“Tentang masalah apa ?” tanya ibunya khawatir.
“Tentaraku banyak meninggalkanku. Mereka membelot kepadaku daripada pihak musuh. Mungkin mereka takut kepada pihak Hajjaj atau bisa juga mereka menginginkan sesuatu yang dijanjikannya, sehingga anak-anak dan istriku pun berpisah denganku. Sedikit sekali jumlah tentara yang tinggal bersamaku. Mereka itupun agaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama denganku. Sementara itu, para utusan Bani Umayyah menawarkan kepadaku apa saja yang kuminta berupa kemewahan dunia asal saja aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan menjadi Khalifah. Bagaimana pendapat ibu?” tanya Abdullah.
Asma menjawab dengan suara tinggi, “Terserah kepadamu ya Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang tahu dengan dirimu? Bila engkau yakin bahwa engkau mempertahankan yang hak dan mengajak kepada kebenaran, maka teguhkan dirimu seperti para prajuritmu yang telah gugur dalam mengibarkan benderamu..! Tetapi bila engkau seorang laki-laki pengecut, berarti engkau mencelakakan diri sendiri dan menjual murah harga kepahlawananmu selama ini, nak..!”
Abdullah menundukkan kepala di hadapan ibunya yang kelihatan marah bercampur berbagai perasaan yang tak pasti wujudnya. Walaupun ibunya sudah tua dan buta, Abdullah yang merupakan khalifah yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya, karena sangat hormat dan kasih kepadanya.
“Tetapi aku akan terbunuh hari ini bu..?” kata Abdullah dengan lembut.
“Itu lebih baik bagimu dari pada engkau menyerahkan diri kepada Hajjaj. Akhirnya toh kepalamu akan diinjak-injak juga oleh budak-budak Bani Umayyah dengan mempermainkan janji-janji mereka yang sulit dipercaya,” jawab ibunya tegas dengan nada tinggi.
“Aku tidak takut mati bu..! tetapi aku khawatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazahku dengan kejam.., kata Abdullah lagi.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan, perbuatan orang yang hidup sesudah kita mati. Kambing yang sudah disembelih tidak merasa sakit lagi ketika kulitnya dikupas orang,” kata ibunya.
“Semoga ibu diberkati Allah. Begitu pula hendaknya buah pikiran ibu yang terang benderang. Maksud kedatanganku hanya untuk mendengar apa yang telah kudengar dari ibu. Allah Maha tahu aku tidak lemah dan aku tidak hina. Dia Maha tahu, aku tidak terpengaruh oleh dunia dan kemewahannya. Murka Allah bagi orang-orang yang menyepelekan segala yang diharamkan-Nya. Inilah aku, anak ibu..! Aku selalu patuh menjalani segala nasihat ibu. Apabila aku tewas, janganlah ibu menangisiku.. Segala urusan kehidupan ibu, serahkan kepada Allah..!” kata Abdullah menguatkan hati ibunya.
“Yang ibu khawatirkan kalau-kalau engkau tewas di jalan yang sesat,” kata Asma memperlihatkan keteguhan imannya.
“Percayalah ibu..! Anak ibu tidak memiliki pikiran sesat untuk berbuat keji. Anak ibu tidak percaya untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang-orang muslim yang baik atau melakukan kejahatan-kejahatan lain. Anak ibu mengutamakan keridhoan Allah Azza wa Jalla dan keridhoan ibu. Aku katakan semua ini dihadapan ibu dari hatiku yang putih bersih. Allah ta’ala menanamkan kesabaran yang dalam di hati sanubari ibu.”
Jawab Asma..” Alhamdulillah..! segala puji bagi Allah yang telah membuat engkau teguh memegang apa yang disukai-Nya dan yang ibu sukai pula. Mendekatlah kepada ibu, anakku..! ibu ingin mencium bau mu dan menyentuhmu. Agaknya inilah saat terakhir bagi ibu untuk menciummu..”
Abdullah menjatuhkan diri kedalam pangkuan ibunya. Hidung Asma beranjak dari kepala, muka dan ke tengkuk Abdullah. Tangannya menyentuh tubuh Abdullah.., tetapi tiba-tiba Asma menarik kembali tangannya seraya bertanya.. “Apa yang engkau pakai, hai Abdullah..?”
“Baju besi..!” jawab Abdullah
“Untuk apakah pakaian seperti ini dipakai oleh orang yang ingin mati syahid..?” tanya Asma
“Aku memakainya untuk menyenangkan hati ibu..” jawab Abdullah
“Tanggalkan baju besi itu..! tanpa baju besi engkau lebih memperlihatkan semangat yang tinggi dan keperkasaan. Disamping itu engkau dapat bergerak dengan leluasa, ringan dan lincah. Sebagai gantinya pakailah celana rangkap. Seandainya engkau tewas, auratmu tidak mudah terbuka..” kata ibunya dengan penuh kasih sayang.
Abdullah melepas baju besinya, kemudian memakai celana rangkap. Sesudah itu dia pergi ke Masjidil Haram meneruskan pertempuran sambil berpesan kepada ibunya.. “Jangan bosan mendo’akanku, ibu..!”
Asma kemudian menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata.. “Wahai Allah ..! kasihanilah dia karena shalatnya yang panjang diselingi tangis penuh di tengah malam buta, ketika orang-orang lain sedang tidur nyenyak. Duhai Allah..! kasihanilah dia yang sering menahan lapar dan haus ketika bertugas jauh dari Madinah atau Makkah dalam menunaikan ibadah puasa karena-Mu. Duhai Allah..! kasihanilah dia yang selalu berbuat kebaikan dan menuntut kasih sayangnya, terhadap ibu dan bapaknya. Duhai Allah..! aku serahkan dia kedalam pemeliharaan-Mu dan aku ridho dengan apa yang telah Engkau tetapkan baginya dan berilah aku pahala orang-orang yang sabar..!”
Sebelum matahari tenggelam di sore hari itu, Abdullah bin Zubair syahid menuju Rabbnya. Dia pulang ke rahmat Allah dengan mengutamakan ridho-Nya. Kurang lebih tujuh belas hari setelah kematian puteranya, Asma wafat pula menyusul putra tercintanya. Asma binti Abu Bakar Ash Shiddiq pulang ke rahmatullah dalam usia seratus tahun. Walaupun usinya sudah lanjut, namun giginya masih utuh semuanya, tidak ada yang tanggal satupun. Daya pikirnya pun tetap kuat dan prima. Begitu pula dengan imannya. Semoga Allah meridhoi kedua hamba-Nya, Asma dan putranya Abdullah bin Zubair.
Wallahua'lam Bish-showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar